Ibuku yang Bekerja









Aku punya ibu yang masih bekerja sampai sekarang. Beliau punya warung kelontong di rumah. Ibuku sudah berdagang di rumah selama 16 tahun. Selain berjualan di rumah, ibuku juga berjualan di pasar setiap hari Kamis dan Minggu. Selain itu, ibuku juga rajin ke ladang untuk memetik cabai, cokelat, kopi, dan hasil kebun lainnya. Ibuku sangat sibuk.


Sebelumnya ibuku hanyalah ibu rumah tangga. Saat menjadi ibu rumah tangga, beliau sangat telaten mengurusi kami, anak-anaknya. Setiap pagi selalu membuatkan sarapan, menyiapkan susu dan teh untukku serta kakak-adikku, juga menyiapkan kopi untuk ayahku. Sejak aku TK sampai aku kelas 6 SD ibuku selalu menyisiri rambutku sebelum aku berangkat ke sekolah. Aku sangat senang merasakan sentuhan jari-jari ibuku di kepalaku yang mungil, baru sebentar saja tiba-tiba rambutku sudah dikuncit tinggi, kuncit dua, kuncit belah tengah, dikepang, bahkan dikepang dua. Ibuku sangat kreatif dalam menata rambutku.


Dulu sebelum ibuku menjadi pedagang, ibu selalu menanyakan PR-ku dan membimbingku menyelesaikan PR jika aku mengalami kesulitan. Beliau selalu membantuku menyiapkan buku-buku pelajaran yang harus dibawa esok hari ke sekolah. Tapi setelah ibuku bekerja, satu per satu dari rutinitas ibuku itu mulai hilang, sampai-sampai aku merasa ibuku tidak peduli, tidak perhatian, dan tidak sayang padaku.


Saat itu aku baru masuk SMP, aku tidak pernah terpikir jika ada di posisi ibuku akan seperti apa. Aku tidak bisa melihat bahwa ibuku sibuk. Aku tidak bisa mengerti bahwa ibuku lelah. Yang aku tahu, aku hanya menuntut dalam hati kenapa ibu tidak menyisir rambutku lagi, kenapa ibu tidak membuatkan sarapan untukku lagi.


Ibuku jadi lebih pemarah. Itu adalah hal yang paling aku ingat saat ibuku mulai bekerja. Seperti kebanyakan ibu lainnya, ibuku juga orang yang cerewet dan mudah marah. Tapi setelah bekerja, beliau lebih mudah marah lagi. Misalnya saat aku salah menjual. Harusnya barang A dijual dengan harga Rp1.500 tapi aku jual dengan harga Rp1000. Saat aku bilang jujur pada ibuku, beliau akan marah “Kenapa nggak nanya dulu sebelum dijual?! Kalau nggak tau harganya tanya!!!”. Mungkin kalian akan berpikiran sama dengan ibuku “Kenapa sih anak ini nggak nanya aja sama ibunya, malah asal jual”. Kalian tahu apa yang terjadi saat aku bertanya ke ibuku? Beliau menjawab “Dari dulu nanyain ituuuuuu terus, harganya berapa. Kenapa sih nggak hapal-hapal?! Kan kemarin kamu sudah nanya! Kenapa nanya lagi sih?!”


Serba salah. Nanya dimarahin. Nggak nanya pun dimarahin. Akhirnya aku memilih untuk diam saja. Jika aku salah menghitung uang kembalian, aku diam. Jika aku salah menjual barang, aku diam. Jika aku salah menggunting sampai isi barang itu berceceran, aku diam. Sejak saat itu sampai sekarang aku selalu diam. Aku diam bahkan saat ibuku bertanya padaku. Aku pura-pura tidak mendengar. Aku selalu berdiam diri di kamar. Aku menghindari berinteraksi dengan ibuku. Lebih buruknya lagi, diamnya aku ini terbawa sampai ke luar rumah. Di sekolah aku diam. Di tempat kerja aku diam. Aku jadi lebih pendiam.


Ibuku jadi lebih sering menyuruh. Dulu aku tidak paham kenapa aku selalu disuruh menyapu dan mencuci piring. Aku tidak paham kenapa hanya aku yang disuruh sedangkan kakak-adikku tidak. Aku tidak paham kenapa aku selalu disuruh saat aku seharusnya sedang main bersama teman-temanku. Aku sangat sebal saat menyapu sampai-sampai gagang sapunya sering patah. Aku sangat benci saat mencuci piring sampai-sampai piringnya sering pecah. Apa yang terjadi saat gagang sapu patah dan piring pecah? Ya lagi-lagi aku kena marah.


“Kamu ini! Gimana sih nyapunya kok bisa sampe patah?! Kamu ini! Gimana sih nyucinya kok bisa sampe pecah?! Kamu sih nggak ikhlas kerjanya! Terpaksa! Disuruh orang tuanya kok malah manyun aja mulutnya!”. WTH. Dalam hati pun aku bertanya kenapa aku salah terus sih? Aku emosi tapi nggak bisa aku luapkan, hanya bisa kupendam. Akhirnya aku memutuskan untuk nggak akan nyapu dan nyuci piring lagi selamanya. Aku nggak akan ngelakuin apa yang ibuku suruh. Aku menjadi anak yang keras hati. Aku tidak peduli dengan orang tuaku. Aku tidak peduli dengan kakak-adikku. Aku tidak peduli dengan orang-orang di sekitarku. Aku tidak peduli dengan dunia ini. Sungguh.


Sekarang aku menyesali semua hal itu. Seandainya aku tahu bahwa ibuku sangatlah kelelahan karena setiap hari sudah bekerja. Seandainya aku tahu bahwa ibuku sangatlah membutuhkan telinga untuk mendengar keluh kesahnya. Seandainya aku menyadari hal itu, akankah aku bisa memahami ibuku? Banyak sekali kalimat penyesalan yang ingin aku ungkapkan. Tapi, bukannya aku berubah, aku malah membiarkan hal itu terjadi. Seharusnya tidak ada kata terlambat untuk memperbaiki diri, tapi aku malah melanjutkan menjadi diriku yang angkuh.


Bermodalkan kepercayaan yang kumiliki bahwa tabiatku sudah tidak bisa dirubah serta masa 16 tahun ini sudah berlalu sangat lama dan tidak ada yang bisa kembali. Aku bukannya memperbaiki diri tetapi malah meneruskan berjalan di dalam kegelapan. Aku melihat ada cahaya terang di ujung jalan tetapi aku memutuskan untuk mencari jalan lain yang lebih gelap. Aku tidak mau berubah.


Seiring berjalannya waktu aku merasakan iri. Aku iri dengan teman-temanku yang bisa ngobrol santai dengan ibunya. Aku iri dengan teman-temanku yang selalu merindukan ibunya. Aku iri dengan teman-temanku yang bangga akan ibunya. Aku iri kenapa aku tidak bisa seperti mereka. Aku selalu menilai ibuku adalah orang yang cerewet tapi aku tidak tahu bahwa ada banyak alasan dibalik sikap ibuku yang seperti itu.


Kalau dipikir-pikir. Sungguh aku tidak pandai bersyukur. Aku sudah diberikan ibu yang sehat wal afiat. Aku diberikan ibu yang pandai memasak dan beres-beres rumah. Aku diberikan ibu yang pandai mengatur keuangan rumah tangga. Di rumah ini, aku diberikan kenikmatan yang belum tentu orang lain bisa rasakan.


Mungkin ini sudah benar-benar terlambat, tapi aku ingin berubah. Namun aku tidak tahu harus mulai dari mana. Mungkin aku harus lebih sering menghabiskan waktu dengan ibuku. Mungkin aku harus lebih sering memulai pembicaraan dengan ibuku. Mungkin aku harus lebih sering sabar mendengar ibuku curhat. Mungkin aku harus lebih sering membantu pekerjaan rumah ibuku.


Semoga niat baikku ini bisa terlaksana, aamiiin. Semoga Allah mengampuni dosaku dan dosa kedua orang tuaku. Semoga kami bisa bahagia di dunia dan akhirat. Aamiiin.


Komentar